Skip navigation

.

.

.

“Pernah takut untuk menikah?” tanya perempuanku suatu saat lewat sebuah pesan singkat.

Saya pun terkejut membaca pertanyaan itu. Terus terang, ketakutan itu ada.

Lebih tepatnya bukan ketakutan. Tetapi kemalasan untuk berkomitmen seumur hidup dengan seseorang.

Alasannya, sudah jamak saya mendengar cerita berbagai masalah mengenai jalinan formal dua anak manusia.  Sudah sering saya mendengar cerita keretakan dalam kehidupan keluarga, saudara, sahabat, teman, rekan dan juga kolega.

Berbagai cerita itu masih membekas di dalam benakku. Seperti noda tembok yang terus menerus diterpa panas dan hujan. Layaknya luka yang memborok.

Menghadapi masalah sendiri saja berat, kenapa harus ditambah dengan masalah baru dengan mengikat diri dengan orang lain.

Alasan itu pun kemudian saya hantarkan juga dalam pesan singkat kepada perempuanku.

“Lalu, kenapa mengajak menikah?” balas perempuanku kemudian.

Gubrak…..

Saya pun terjatuh guling-guling pas membaca balasan pesan singkatnya. Untungnya saya bisa menguasai keadaan. Saya langsung berlagak koprol ke depan dan ke belakang bak seorang pemain akrobat.

Saya tak ingin ditertawakan orang-orang sekitar. Maklum, saat membaca pesan singkat itu, saya sedang ada di sebuah pusat perbelanjaan. Saya tak ingin terlihat jatuh guling-guling. Saya ingin terlihat lebih elegan.

*halah…. opo tho iki… ra jelas…..

Sesaat setelah memberikan apresiasi dengan memberikan hormat atas tepuk tangan dari orang-orang sekitar saya pun membalas pesan singkat dari perempuanku.

“Saya tak tahu kenapa mengajakmu menikah. Tetapi saat bertemu denganmu, alam bawah sadar saya langsung tunjuk jari memberikan usulan. Kamu layak untuk menemaniku.”

Terus terang, hubungan saya dengan perempuanku memang masih sangat singkat. Tetapi dalam kesingkatan itu, saya merasa bahwa perempuanku layak untuk dipertahankan. Saya pun berharap perempuanku mempunyai mimpi yang sama.

Semoga…..

.

.

.

 

*foto saya ambil tanpa bilang-bilang dari sini